Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Posted on 15 April 2010 by baguscokie
Ketika
umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk
menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara
jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada
yang salah dengan ungkapan ini.
Permasalahannya adalah, sikap ini
membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan
mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar.
Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.
Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia
bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan,
Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas
pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana
Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah,
setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk
menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu
menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah
kecengengan yang kanak-kanak.
Tapi sayang, banyak umat Islam yang
selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah – siapapun
presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi
Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita
berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para
mujahidin yang ‘digaji’ oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan
hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak
belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme
pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita
hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi
kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.
Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?
Paradigmanya harus dibalik. Bukan
menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan
diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah
dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran
apa? dan seterusnya.
Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai
sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa
dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam,
dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak
mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.
Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk
mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu.
Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk
bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu
diperbaiki.
Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).
Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam
Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti
menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih
tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.
Misalnya, jika kita menggunakan mati
syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil.
Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak
yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki ‘alallah
ahadan).
Jika tolok ukurnya adalah kemampuan
membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena
untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya
selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh.
Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.
Jika tolok ukurnya penangkapan oleh
Densus 88, jihad Aceh juga relatif “berhasil”. Karena mempersembahkan
kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel
Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.
Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam
style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam
propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang
lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan
mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka
melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan
yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali
jihad. POKOKNYA JIHAD !
Tampaknya
Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan,
karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena
Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda
menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah
didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya
“hitam-putih” dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat
tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar
adrenalinnya.
Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok
ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus
mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do’a kita untuk
mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak
ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti
akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi
“kesalahan” mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan
bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan
yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan
keharusan Acehnya apalagi “kesalahan”nya. Artinya, kita harus menjadi
mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka
terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai
jihad global.
Maka tolok ukur keberhasilan harus kita
sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan
kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010
hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus
melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung
dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu
kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu
melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu
disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.
Memang benar, bahwa kita tidak dibebani
oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri
bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita
untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita
gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?
Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN
KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan,
maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi
eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi,
untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus’ab
As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi
yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian
serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan
Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi
kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi
memastikan jihad menghasilkan kemenangan.
Jihad; tujuan atau sarana
Salah satu perdebatan sengit yang
berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai
sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari
serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat
ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan
tindakan.
Mazhab sarana akan meletakkan jihad
sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh
maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud
hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan
pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat
dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan
menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan
kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan
pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.
Jihad itu ibadah. Tapi dalam
pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah.
Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang
menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.
Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar.
Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan
kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata
nahi munkar.
Para penganut mazhab sarana akan
cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan
keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak
menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam.
Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar
dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan,
tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan
dalam melihat ibadah bernama jihad.
Sementara penganut mazhab tujuan,
tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah
fardhu ‘ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang
keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang
berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di
Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya,
pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret
“memegang senjata”nya.
Padahal jihad membutuhkan dukungan
dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan
kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban
jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai
mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim
dan sejenisnya?
Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh
adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh
kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan
mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad.
Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan
sebagainya.
Titik perhatiannya hanya bagaimana
berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu
menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti
apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin
lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.
Misalnya, jika ada yang menyambut seruan
ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung
alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih
diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi
bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud
absurd.
Jihad melawan Densus 88 di mata umat
Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam
lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama
Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.
Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu
bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan?
Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah
mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri.
Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.( arrahmah )