enolakan Ibnu Taymiah Terhadap Hadis Tsaqalain

Posted Posted by A Baidawi Sy in Comments 0 komentar

Penolakan Ibnu Taymiah Terhadap Hadis Tsaqalain
SUMBER: http://ibnutaymiah.wordpress.com/2007/05/24/penolakan-ibnu-taimiyah-terhadap-hadis-tsaqalain/

Setelah menerima kesahihan hadis Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim walaupun terkesan berusaha meragukannya, ia mengatakan: “Dan lafadz ini menunjukkan bahwa yang diperintahkan agar dipegang teguh dan menjamin yang berpegang teguh dengannya tidak akan sesat adalah hanya kitabullah (Alquran) saja. Dan demikianlah telah datang dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim dari Jabir ….”
Kemudian ia melanjutkan: “Adapun sabda beliau ‘dan itrah-ku, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh’, Tambahan ini diriwayatkan oleh at Turmudzi, Ahmad telah ditanya tentangnya ia men-dha’if-kannya, tambahan itu telah dilemahkan oleh banyak ahli ilmu (ulama), mereka mengatakan ia tidak sahih.”[1]

Dan dalam tempat lain ketika membantah kesimpulan hadis Ghadir ia mengatakan: ” … Dan yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya bahwa beliau di Ghadir Khum bersabda: “Sesungguhnya Aku tinggalkan pada kalian tsaqalain (dua pusaka berharga); kitabullah”. kemudian beliau menyebut-nyebut kitabullah dan menganjurkan agar berpegang dengannya, lalu bersabda: “Dan itrah-ku Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku (beliau ucapkan tiga kali)”. Dan hadis ini hanya diriwayatkan Muslim, Bukhari tidak meriwayatkannya.
Dan at Turmudzi meriwayatkannya dengan tambahan: “Dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh (telaga). Dan tidak sedikit dari kalangan para huffadz yang mencacat tambahan ini, mereka berkata: sesungguhnya ia tidak termasuk hadis sabda (Nabi)…Dan hadis yang ada di Shahih Muslim, jika benar Nabi saw. telah mengucapkannya[2], tiada lain hanya berwasiat agar berpegang teguh dengan kitabullah dan ini telah beliau sabdakan di haji wada’ sebelum peristiwa Ghadir, beliau tidak memerintahkan untuk mengikuti itrah (Ahlulbait), akan tetapi bersabda: “aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku “. Dan mengingatkan umat tentang Ahlulbait meniscayakan bahwa mereka diperingatkan tentang sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya yaitu memberikan kepada mereka hak-hak mereka dan tidak menzalimi mereka.[3] Inilah pernyataan Ibnu Taimiyah dalam menolak kesahihan hadis tsaqalain, tepatnya tambahan yang menegaskan bahwa Alquran dan Ahlulbait tidak akan berpisah hingga hari kiamat.
Dalam kesempatan ini penulis akan membatasi tanggapannya hanya pada penolakan tambahan tersebut yang ia tolak dengan tanpa menyebut alasan, seperti kebiasaannya dalam menolak hadis-hadis sahih keutamaan Ahlulbait as. Adapun pemaknaan yang ia pahami bahwa hadis tersebut hanya memerintah umat agar berpegang dengan Alquran saja dan tidak dengannya dan dengan Ahlulbait akan kami bahas pada bagian lain.
Ketahuilah bahwa dalam pembicaraan Ibnu Taimiyah di atas terdapat banyak keganjilan dan kepalsuan:
1. Ia mengatakan bahwa perintah berpegang dengan itrah datang dalam riwayat at Turmudzi, perkataan itu mengesankan bahwa sabda itu hanya diriwayatkan oleh at Turmudzi saja dan tidak oleh yang lainnya. Dan itu adalah salah, sebab seperti anda ketahui bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh jumhur para ulama.
2. Tambahan yang mengatakan: ” Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga” hanya diriwayatkan oleh at Turmudzi pula. Klaim itu juga salah dan sekaligus bukti ketidakjeliannya dalam meneliti hadis tsaqalain atau justru ia tahu namun ia ingin mengesankan kepada para pembaca bukunya agar membayangkan bahwa memang benar hanya at Turmudzi yang meriwayatkan.
Adanya tambahan itu telah diriwayatkan dalam banyak riwayat oleh para ulama termasuk Imam Ahmad, al Hakim dan disahihkan oleh adz Dzahabi dalam ringkasan al Mustadrak, an Nasa’i, ath- Thabari, al Bazzar, ath-Thabarani Ibnu ‘Asakir Abu Ya’la dan puluhan ulama lainnya. Dan beberapa riwayat Imam Ahmad yang telah kami sebutkan sudah cukup sebagai bukti ketidakbenaran apa yang ia sebutkan.
3. Anggap benar klaim bahwa tambahan itu hanya ada pada riwayat at Turmudzi, namun itu belum cukup alasan untuk menganggapnya lemah apalagi palsu, sebab seperti sudah diketahui bahwa ia telah datang dari jalur-jalur yang diakui kesahihannya oleh para ulama. Selain itu, perlu diketahui bahwa tambahan itu telah diriwayatkan oleh Abu ‘Uwanah dalam kitab Musnad-nya yang ia tulis untuk mengukuhkan kitab Shahih Muslim,[4] dan itu bukti kuat kesahihan tambahan itu.
4. Dan yang aneh adalah ucapannya ” Dan Ahmad ditanya tentangnya, ia men-dha’if-kannya “. juga tidak benar, sebab bukankah Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis tersebut dengan berbagai jalur, baik dalam Musnad maupun dalam Manaqib? As Sayyid Alwi bin Thahir mengatakan: Sesungguhnya Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis itu sebagaimana riwayat Muslim, beliau meriwayatkannya dengan tambahan tersebut dengan sanad Bukhari dan Muslim dan diriwayatkan oleh al Hakim dalam Mustadrak-nya dari jalur Ahmad dan disahihkan oleh adz Dzahabi, jalur-jalur hadis itu pada Ahmad dan yang lainnya banyak sekali.[5]
5. Klaim lain Ibnu Taimiyah adalah, “Tambahan itu telah dilemahkan oleh banyak ulama, mereka mengatakan ia tidak sahih.” Dan “Tidak sedikit dari kalangan para huffadz yang mencacatnya, mereka berkata sesungguhnya ia tidak termasuk sabda Nabi saw. “ ini jelas-jelas sebuah kebohongan dan kepalsuan yang tidak selayaknya terlontar dari mulut seorang Mslim awam apalagi “Syeikhul Islam”. Sebab tidak ada seorang pun yang menolak bagian itu dari hadis tsaqalain, yang ada adalah menolak total hadis seperti yang dinisbatkan Bukhari kepada Imam Ahmad atau kritik terhadapnya seperti Ibnu al Jawzi sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. .Adapun menolak bagian itu dari hadis tsaqalain tidak seorang ulama pun yang melakukannya, apalagi sekelompok ulama –seperti klaim Ibnu Taimiyah -. Lalu kalau benar bahwa ada sekelompok ulama telah menolak dan men-dha’if-kannya, mengapa ia tidak menyebutkan walau satu saja nama mereka? Bukankah itu sangat penting untuk mendukung klaim yang ia yakini?
As Sayyid Alwi bin Thahir al Haddad setelah membuktikan kesahihan adanya tambahan tersebut di kalangan para ulama, beliau mengatakan: Dan dengan demikian Anda ketahui bahwa Ibnu Taimiyah menukil penolakan tambahan tersebut dari ulama nawashib atau justru ia mengikuti mereka dengan sembunyi-sembunyi, ia sesekali berterus terang dan sesekali tidak dan ia tidak menyebut satu persatu nama-nama mereka, dan ini adalah sebuah penipuan.[6]
Dan sebagaimana kebiasaan Ibnu Taimiyah dalam menolak hadis-hadis sahih tentang keutamaan keluarga Nabi saw. selalu menisbatkannya kepada kesepakan ulama atau sekelompok ulama, sementara para ulama Ahlussunah selalu berseberangan dalam klaim-klaim tersebut seperti dapat disaksikan pada kitab Minhajus-Sunnah yang ia tulis khusus untuk membantah argumentasi Syiah.
6. Dan yang perlu mendapat sorotan adalah perkataannya, “Dan hadis ini hanya diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari tidak meriwayatkannya.” Hal itu adalah sebuah upaya untuk membentuk opini bahwa tidak diriwayatkannya sebuah hadis oleh Bukhari adalah bukti adanya cacat dan kelemahannya. Akan tetapi perlu diketahui bahwa hal itu justru menimbulkan tanda tanya besar, mengapa ia tidak meriwayatkan hadis sahih yang sangat masyhur dan kuat jalur-jalur periwayatannya, bahkan berdasarkan syarat–syarat Bukhari sendiri? Selain itu berdalil dengan alasan seperti itu adalah logika keliru, karena berapa banyak hadis yang ada dalam Shahih Muslim namun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan sebaliknya serta berapa banyak hadis–hadis yang diriwayatkan oleh penulis kitab-kitab Sunan yang tidak ada dalam Bukhari dan Muslim.
Dan cara berargumentasi seperti itu biasanya dipergunakan oleh mereka yang ingin menyepelekan sebuah hadis karena tidak sesuai dengan paham yang diyakininya. Al Qasimi dalam kitab Qawaid al Tahdiits-nya dalam pasal 5 tentang al jarh wa at Ta’dil, menulis sebuah judul: Meninggalkannya Bukhari periwayatan sebuah hadis tidaklah melemahkan status hadis itu. Kemudian ia mengutip komentar Ibnu al Qayyim dalam kitab Ighatsat al Lahfaan.[7]
Ibnul Qayyim menyalahkan cara berpikir seperti itu, ia berkata: “Dan tidak merusak sedikit pun kesahihan hadis itu karena hanya Muslim sendiri (tidak dengan Bukhari pula) yang meriwayatkannya. Kemudian apakah ada yang dapat menerima argumentasi seperti itu pada setiap hadis yang hanya diriwayatkan oleh Muslim (tanpa Bukhari)?! Apakah Bukhari pernah mengatakan bahwa, “Hadis yang tidak saya masukkan dalam kitabku berarti batil dan bukan hujah atau dha’if?” Berapa banyak Bukhari sendiri berhujah dengan hadis yang tidak tersebut dalam Shahih-nya dan berapa banyak pula hadis yang sahih yang ada di luar Shahih Bukhari?
”Al Allamah as Sayyid Alwi menambahkan, “Dan kami tambahkan, seandainya Bukhari benar-benar telah mengatakan, ‘Setiap hadis yang ada di luar kitab Shahih-ku adalah batil.’ niscaya ucapannya tidak dapat diterima, sebab ia bertentangan dengan ucapan para ulama dan huffadz lain yang telah menyahihkan banyak hadis yang berada di luar Shahih Bukhari. Bukhari bukanlah hujah (pemegang otoritas) atas mereka dan mereka tidak selayaknya meninggalkan hafalan dan ilmu mereka hanya karena omongan Bukhari, sebab Bukhari tidak maksum. Dan bukankah hadis yang diriwayatkan Muslim sendirian kecuali seperti hadis yang diriwayatkan Bukhari sendirian (tanpa Muslim)…. Dan para penyandang paham bid’ah mengatakan, ‘Hadis ini tidak ada dalam Shahih Bukhari.’ dan kadang mereka mengatakan, ‘Hadis itu hanya diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari mensucikan dirinya dari meriwayatkannya (tidak mau meriwayatkannya)…’”[8]
Dalam kesempatan lain, setelah menyebut penolakan Ibnu Taimiyah terhadap adanya tambahan tersebut, beliau menegaskan, “Ini adalah omongan orang-orang khawarij dan nawashib yang menganggap Amirul Mukminin Ali as. sesat dan fasik dan di antara mereka ada yang mengingkarinya, adapun penukilannya dari Ahmad bahwa beliau men-dha’if-kannya, tidak dapat dipercaya dan telah lewat pada awal pembahasan data yang menunjukkan bahwa sebagian pengikut (murid-murid) Ahmad menukil dari Ahmad sesuatu yang tidak ia katakan…”[9]
Dalam kesempatan lain beliau juga menegaskan, “Sesungguhnya Ibnu Taimiyah hanya mengingkari adanya tambahan “Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga (haudh)”. Dalam penolakannya ia berpendapat seperti pendapat orang-orang nawashib (pembenci Ahlulbait as.) tentang Ali as. Dan apabila sebuah hadis bertentangan dengan sebuah bid’ah maka pendapat penyandang bid’ah itu atau orang yang tertuduh dengannya tidak dapat diterima dalam pen-tadh’if-an hadis tersebut.[10]
Demikianlah tanggapan penulis atas penolakan sebagian ulama terhadap hadis tsaqalain. Dan demi sempurnanya pembahasan, mari kita menyimak lebih lanjut nama-nama perawi hadis tersebut, di sepanjang abad. [bersambung]
________________________________________________
[1] Minhaaj as Sunnah, 4/104-105.
[2] Sikap penolakan dan meragukan akan kesahihan hadis tersebut yang ia utarakan dengan segala cara. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah akan tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya walau mereka tidak menyukainya.”
[3] Ibid., 4/85.
[4] Dalam istilah Ulama kitab yang dikarang untuk mengkukuhkan hadis-hadis dalam sebuah kitab hadis tertentu dengan menyebut jalur lain disebut mustakhraj.
[5] Al Qaul al Fashl, 2/450.
[6] Al Qaul al Fashl, 2/451.
[7] Qawaid at Tahdiits:180 dan Ighatsat al Lahfaan:160
[8]Ibid, 2/215.
[9] Ibid., 2/431
[10] Ibid., 2/450.